Konservasi dalam dimensi Islam


KONSERVASI LINGKUNGAN DAN HIDUPAN LIAR 
DALAM DIMENSI ISLAM
 OLEH: SUMIANTO 
KOORDINATOR PKHS WAY KAMBAS

Agama Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’ alamin).  Al-Quran dan Sunah yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW seharusnya menjadi pedoman dan petunjuk yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi setiap muslim dengan prinsip sami’na wa ato’na (mendengar dan mentaatinya).
Melalui empat pilar : tauhid (keyakinan), khilafah (pemerintah/umaro’), istishlah (kemaslahatan), dan hukum (halal-haram) yang telah diatur dalam Islam merupakan kunci bagi semua pemecahan dan penataan masalah lingkungan (ekologi) secara Islami.


Aturan menganai halal (legal) dan haram (illegal) menjadi pembatas yang sangat kuat untuk mencegah perilaku manusia agar tidak merusak tanaman dan membunuh binatang yang sudah diatur dalam tatanan ekosistem dan kehidupan dari waktu ke waktu. Selanjutnya, kerangka halal-haram ini merupakan bentuk aplikasi syariat yang harus ditegakkan pelaksanaannya sebagai mana hukum positif yang membutuhkan upaya penegakan hukum (law enforcement).

Kehidupan manusia pada jaman modern ini ditandai oleh tingginya pemujaan terhadap gaya hidup dan serba materi. Kondisi ini pada saat yang bersamaan akan membawa dampak terhadap kualitas lingkungan.

Adalah kewajiban setiap muslim untuk menyampaikan risalah kebenaran kepada sekalian umat. “Sampaikan walau satu ayat”, kita tidak harus menunggu kita pintar dulu untuk menyampaikan kebenaran.

TEORI LINGKUNGAN DAN  KONSERVASI
Islam memang tidak secara khusus memunculkan teori tentang lingkungan. Teori  yang mendasari pemahaman manusia secara akademik tentang lingkungannya disebut ekologi. Ekologi sendiri berasal dari kata “oekos” yang berarti tempat tinggal atau rumah, dan “logos” yang berarti telaah atau ilmu. Jadi ekologi bermakna ilmu yang mempelajari hubungan manusia dan lingkungannya.

Allah SWT telah menciptakan manusia dan menempatkannya di atas dunia untuk saling berhubungan (interaksi) dalam relung tempat atau lingkungan dan waktu yang sudah ditentukan.

Firman Allah:
“........dan bagimu ada tempat kediaman di bumi, tempat kesenangan hidup sampai batas waktu yang ditentukan” (Q.s. al- Baqarah (2) : 36)

Konsep tentang konservasi alam sampai saat ini masih terus berproses seiring dengan dinamika kehidupan yang terjadi. Secara sederhana, prinsip dasar konservasi alam adalah bagaimana menata prikehidupan (manusia dan lingkunganya) dalam keadaan serasi, terjaga keasliannya (lestari) dan dapat bermanfaat secara berkesinambungan.

Konsep Hima’ dan Taman Nasional
Meskipun rumusannya tidak sama persis dengan konsep konservasi modern, namun Islam sudah meberlakukan kawasan konservasi sejak jaman nabi Muhammad SAW yang kemudian diwariskan kepada para khalifah sesudah beliau yaitu dengan konsep “HIMA’ “. Hima’ adalah suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah (Imam Negara atau Khalifah) atas dasar syariat guna melestarikan hutan serta hidupan liar. Nabi SWA bersabda :
“ Tidak ada hima’ kecuali milik Allah dan Rosulnya “ (Riwayat Al-Bukhari)

Konsep hima’ sering dianalogikan (dipersamakan) sebagai kawasan pelestarian alam (taman nasional) dalam era modern saat ini.  Sedangkan kosep konservasi  itu sendiri merupakan sebuah rumusan dari strategi konservasi dunia (World Conservation Strategy) yang menekankan pada tiga aspek utama yaitu :
§  Perlindungan terhadap proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan;
§  Pengawetan jenis dan genetik;
§  Pemanfaatan spesies dan ekosistem secara berkelanjutan (IUCN, UNEP)

AKHLAQ TERHADAP HIDUPAN LIAR (BINATANG)
Selain mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Khaliq-Nya (hablum minnallah) dan hubungan antar manusia (hablum minannas), Islam juga mengatur secara etika tentang perilaku atau akhlaq manusia terhadap mahluk hidup lainnya, termasuk diantaranya adalah hidupan liar (satwa liar).

Firman Allah SWT :
“Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan tiada pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya itu umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun.” (Q.s.al-An’am (6) : 38)

Kemudian Allah memberikan kejelasan di dalam kitab-Nya yang merupakan keleluasaan bagi manusia (Khalifah) untuk mengikuti hukum-hukum sesuai dengan kitab yang telah diberikan. Dan Allah telah memberikan kepada hewan ternak dan binatang liar lainnya hak-hak mereka sepantasnya.

Bagaimana Islam mengatur mengenai akhlaq kita terhadap hidupan liar terutama jenis satwa/binatang, ahli hukum Islama (fuqoha) Izzal-din Ibn Abd al- Salam yang hidup pada abad ke-13 telah menetapkan hak-hak ternak dan binatang lainnya terhadap manusia yang ditulis dalam kitab Qawaid al- Ahkam, sebagai berikut : (1) bahwa manusia harus menyediakan makan bagi mereka; (2) manusia harus tetap menyediakan makanan walaupun binatang itu sudah tua atau sakit sehingga tidak menguntungkan bagi pemiliknya; (3) bahwa manusia tidak boleh membebati binatang melampaui kemampuannya; (4) bahwa manusia tidak boleh menempatkan binatang itu bersama dengan segala sesuatu yang dapat melukainya, entah karena jenis yang sama maupun jenis yang berbeda, yang mungkin dapat mematahkan tulang, menanduk  atau menggigitnya; (5) bahwa munusia harus memotong (menjagal) dengan adab yang baik, tidak menguliti atau mematahkan tulangnya sehingga tubunhnya menjadi dingin dan nyawanya melayang; (6) bahwa manusia tidak boleh membunuh anak-anak di depan induknya, dengan cara memisahkan mereka; (7) bahwa manusia harus memberikan kenyamanan dan tempat minum satwa itu; (8) bahwa manusia harus menempatkan satwa jantan dan betina bersama pada musim kawin; (9) bahwa manusia membuang mereka dan kemudian menjadikannya sebagai binatang buruan; (10) bahwa manusia tidak boleh menembak mereka dengan apa saja yang membuat tulangnya patahatau menghancurkan tubuhnya, atau memperlakukan mereka yang membuat daging hewan tersebut tidak syah untuk dimakan (haram).

Pada sebuah tamsil (kisah), ketita Rosullah SAW sedang berjalan dengan para sahabat dan ada diantara sahabat yang mengambil anak burung dari dalam sarangnya hingga induk burung tersebut kebingungan mencari, maka Nabi segera cari tahu kenapa dan setelah itu memerintahkan untuk segera mengembalikan anak burung tersebut ke asalnya. Pada kisah yang lain; ada diantara sahabat yang membakar sarang semut, seketika itu Nabi melarang untuk tidak membinasakan semut-semut, terlebih dengan membakar rumahnya.
Berkaca dari kedua tamsil diatas, bagaimana prilaku manusia saat ini yang dengan seenaknya membakar hutan, sementara hutan adalah sebagai tempat hidup dari berjuta-juta mahluk Allah ? Jawabannya,  mari kita kembalikan kepada diri kita masing-masing.

PENGENDALIAN NAFSU DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM (SDA)
Apabila kaidah, norma dan aturan (hukum) tidak diperhatikan lagi, maka manusia sesungguhnya telah menjadi pemangsa dari segala pemangsa (top predator) di alam ini. Pangkal dari semuanya itu adalah nafsu serakah dalam diri manusia. Berbagai kasus seperti perambahan hutan, pembalakan (illegal logging), perburuan satwa dan pencurian hasil laut (illegal fishing) merupakan contoh yang nyata. Betapa tidak, sudah isinya diambil (diekploetasi) dengan seenaknya,  rumah/habitatnya dirusak pula.

Islam memberikan solusi terhadap semua permasalahan lingkungan tersebut dengan konsep pengendalian hawa nafsu dan pengaturan pola konsumsi. Dalam ajaran fikih sudah banyak diterangkan mengenai apa yang boleh (halal) dan tidak (haram) begitupun dengan perhitungan atau studi kelayakan ketika kita akan melakukan pemanfaatan lingkungan. Sesungguhnya Allah SWT telah memetakan dan menggambarkan akibat dari semua kedurhakaan manusia terhadap syariat dan juga akibat keserakahan serta kezoliman manusia di dunia ini. Manusia hanya bisa menguras dan menggali isi bumi tanpa menyadari berlakunya sunatullah disana. Akibatnya terjadi kerusakan bumi dan bencana dimana-mana, semuanya akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Sebagaimana frman Allah di dalam Al-Quran, yang artinya :
“ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut (disebabkan) karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah meresakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) “. (Q.s. Ar Ruum (30) : 44)

HUKUM PERDAGANGAN SATWA LIAR MENURUT SYARIAT ISLAM
Akan timbul pertanyaan yang sangat kaprah di masyarakat, apakah dengan menjual – yang berarti tidak memakan secara langsung binatang-binatang yang diharamkan – akan berarti juga haram untuk memperjualbelikan ?
Jawaban syariat atas pertanyaan di atas adalah : haram bagi dagingnya, maka haram pula memburunya, membuatnya cindera mata (offset), memajang kulitnya termasuk memakan hasil dari jual beli binatang/satwa tersebut. Hal ini juga berlaku bagi binatang atau hidupan liar yang telah ditetapkan status hukumnya—dilindungi dan apalagi yang kondisinya sudah langka dan terancam punah. Ketetapan ini pada kenyataannya tidak banyak dipahami oleh masyarakat Islam sendiri. Mereka berpendapat bahwa memakan daging hewan yang dilarang (haram) tidaklah sama memakannya dengan hasil uang (pengahsilan) dari hasil penjualan hewan tersebut. Padahal sudah jelas menurut qaidah fiqhiyah yang berbunyi : “Sesuatu perkara itu dihukumkan sesuai dengan hukum asalnya”. 
Tegasnya, jika sesuatu itu telah ditetapkan haram secara syariat maka langkah-langkah yang dilakukan atas pelanggaran hukum tersebut merupakan perbuatan berdosa dan akan mendapatkan siksa.
Firman Allah Ta’ala:
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “ (Q.s. Al-Maidah (5) : 2)


Penutup
Dalam bagian penutup ini kami mencoba untuk memetik beberapa simpulan bawasannya Islam secara mendasar Islam telah mengatur dan memberikan pentunjuk yang rinci terhadap permasalahan dan solusi dalam tata hidup dan lingkungan. Hanya saja sistem dan pendekatan Islam dalam menyelesaikan persoalan lingkungan tersebut berbeda dengan pendekatan sistem sekuler. Islam adalah agama fitrah yang memberikan pendekatan hukum berdasarkan fitrah pula. Dalam Islam perbuatan baik dan perbuatan buruk akan mendapatkan ganjaran yang setimpal, oleh karena itu kebaikan seorang muslim merupakan amaliah yang selalu dicatat dan mendapatkan balasan baik di dunia dan akhirat. Perilaku seorang muslim di dunia merupakan cermin kebaikan akan kehidupannya kelak di akhirat, sebab Islam memandang bahwa semua aspek hidup dan apa saja yang dilakukan manusia (muslim) semata-mata sebagai sarana ibadah kepada sang Khalik. Firman Allah SWT : “ Tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku “ (Q.s. al-Zariyat (51) : 56)

Memelihara lingkungan dalam Islam merupakan bagian dari totalitas ibadah manusia. Oleh karena itu Islam menjadi rahmatan lil’alamin (rahmat bagi sekalian alam) yang mendorong umatnya agar tidak membuat kerusakan terhadap lingkungan sekitarnya atau mempercepat laju kepunahan hidupan liar lainnya dari muka bumi ini.

Mematuhi dan mentaati syariat serta mengamalkannya merupakan amaliah dalam jangka panjang. Langkah awal bagi yang telah memahami adalah segera mengabarkan (mendakwahkan) fiqih ini mulai dari dalam lingkungan keluarga/rumah tangga, lingkungan masyarakat sekitar dan kepada lembaga-lembaga pendidikan. Akhirnya, tidak ada jalan lain yang lebih baik kecuali latihan mencintai lingkungan dengan menerapkan syariat Allah dimulai sejak dini pada diri, keluarga dan lingkungan kita sendiri. Wallahu’ alam bi shawab.

Bahan penulisan
v  Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, 2005
v  Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, Jatna Supriatna; Biologi Konservasi (edisi revisi), Yayasan Obor Indonesia, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

Tanaman Obat Suku Talang Mamak

Penyediaan Sumber Air Minum Satwa Musim Kemarau